895,51 Hektare Kebun Kelapa Sawit Berkelanjutan di Tapanuli Selatan

Dikelola Petani Sawit Bersertifikasi RSPO

Program kelapa sawit berkelanjutan oleh Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan bersama Konservasi Indonesia mendorong peningkatan ekonomi petani kelapa sawit mandiri.

JAKARTA, 22 NOVEMBER 2023 – Dua asosiasi petani di Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatra Utara, resmi menerima sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan pada acara Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) kemarin. Dalam acara Konferensi Meja Bundar Tahunan RSPO (RT2023) yang digelar di Jakarta, Ketua Asosiasi Petani Sawit Muara Batangtoru (PSMB) dan Sawit Jaya Lestari Saseba (SJLS) secara resmi menerima sertifikat, mewakili total 595 anggota asosiasi yang dinaunginya dengan total luasan pengelolaan sebesar 895,51 hektare. Penerimaan sertifikasi RSPO ini menunjukkan komitmen serius kedua asosiasi untuk mengadopsi praktik perkebunan kelapa sawit berkelanjutan. 

RSPO merupakan organisasi internasional yang didirikan untuk mengembangkan dan mendorong praktik kelapa sawit berkelanjutan dari segi ekonomi, sosial, dan lingkungan. Tujuan utama dari RSPO adalah meminimalkan dampak negatif industri sawit, seperti hilangnya tutupan hutan, degradasi lingkungan, dan pelanggaran hak asasi manusia. Untuk mencapai hal tersebut, RSPO mengembangkan dan menetapkan standar-standar ketat dalam produksi sawit berkelanjutan. 

Sebagai salah satu provinsi sentra perkebunan kelapa sawit, Sumatra Utara memiliki kebun kelapa sawit seluas 1,5 juta hektare dengan produksi sawit 5,9 juta ton. Provinsi tersebut menjadi wilayah kedua dengan kebun kelapa sawit terluas di Pulau Sumatra, setelah Provinsi Riau seluas 2,8 juta hektare dengan produksi sawit sebesar 8,9 juta ton (BPS, 2023).

Proses perolehan sertifikasi RSPO asosiasi PSMB dan SJLS melibatkan berbagai pemangku kepentingan, di antaranya adalah Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan dan Forum Kelapa Sawit Berkelanjutan Tapanuli Selatan (FoKSBI), dengan dukungan Konservasi Indonesia. 

“Kami bekerja di Kabupaten Tapanuli Selatan untuk mendukung pemerintah, termasuk para petani, dalam pembangunan berkelanjutan, salah satunya melalui program Pembangunan kelapa sawit berkelanjutan yang menjadi komoditas utama bagi kabupaten ini,ungkap Teuku Youvan, Sundaland Program Director, Konservasi Indonesia. 

Program kelapa sawit berkelanjutan yang didukung oleh Konservasi Indonesia ini diselenggarakan di empat kecamatan terbesar produksi sawit di Kabupaten Tapanuli Selatan. Mulai dari Kecamatan Angkola Selatan, Muara Batangtoru, Angkola Sangkunur, hingga Batangtoru. 

“Sebelum program dimulai, produktivitas kelapa sawit di kebun petani sangat rendah yakni sekitar 10-13 ton per hektare dari potensi 24 ton per hektare karena belum diterapkannya praktik budidaya yang berkelanjutan. Kebanyakan petani tidak mengetahui cara mengelola kebun, cara mengendalikan hama dan penyakit serta cara memupuk yang tepat,” ungkap Isner Manalu, Field Program Manager Konservasi Indonesia, saat menerangkan tentang awal mula program dimulai.

Pendampingan yang dilakukan secara konsisten sejak tahun 2018 kepada petani sawit mandiri dimulai dari program Good Growth Partnership (GGP), bekerjasama dengan UNDP dan pemangku kepentingan lainnya. Petani memelajari praktik-praktik budidaya kelapa sawit lestari (Good Agricultural Practices/GAP) dan konservasi tanah dan air, sekaligus mengenal tentang sertifikasi, baik ISPO maupun RSPO. “Hingga tahun 2020, pendampingan masih berfokus pada penerapan praktik budidaya berkelanjutan,” tambah Isner.  

Melalui penerapan praktik budidaya lestari, para petani memperoleh peningkatan produksi kelapa sawit hingga 25 persen dibandingkan tahun 2020. Hal ini sejalan dengan tujuan sekolah lapang yang mempromosikan intensifikasi perkebunan kepada para petani sawit mandiri. 

Sejak 2021, Konservasi Indonesia dengan dukungan Unilever memfasilitasi para petani mendapatkan sertifikasi RSPO. Kami mendorong pembentukan wadah berbadan hukum bagi para petani untuk melakukan aktivitas kelompok. Dari sanalah, asosiasi PSMB dan SJLS terbentuk dan menjalankan proses sertifikasi,” imbuh Isner.

Pendampingan asosiasi PSMB dan SJLS dalam memperoleh sertifikasi RSPO sendiri setidaknya membutuhkan waktu hingga dua tahun. Setelah menjalani proses tersebut, pada Januari 2023 lalu, Sawit Jaya Lestari Saseba (SJLS) menjadi asosiasi pertama penerima sertifikasi, yang mencakup area bersertifikat seluas 293,69 hektar, dengan volume tandan buah segar (TBS) 5,065,55 MT. Sedangkan, Petani Sawit Muara Batangtoru (PSMB) menerima sertifikasi pada Mei lalu dengan cakupan area bersertifikat seluas 601,82 hektar dan volume TBS sebanyak 12.296 MT. 

Perolehan sertifikasi RSPO bagi asosiasi PSMB dan SJLS ini tentu membuka peluang baru bagi para petani di Kabupaten Tapanuli Selatan dan sekitarnya. “Kami berharap seluruh petani kelapa sawit bisa mendapat sertifikasi ISPO maupun RSPO, sebagaimana tercantum dalam Rencana Aksi Kabupaten Tapanuli Selatan untuk kelapa sawit berkelanjutan. Tentu hal ini harus diikuti juga dengan penerbitan legalitas lahan, termasuk Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) dan Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan Hidup (SPPL) yang masih menjadi kendala di lapangan,” tutup Isner.